Makalah Muhammad Natsir
Kamis, 18 Februari 2016
PEMIKIRAN MOHAMMAD NATSIR
MOHAMMAD NATSIR (1908-1993)
1.
Pendahuluan
Masyumi berdiri pada 7 November 1945 sepenuhnya
merupakan hasil karya pemimpin-pemimpin umat Islam dalam sebuah kongres bertempat digedung Madrasah Mu’allimin Muhammadiyah,
Yogyakarta. Adapun nama Masyumi tetap dipakai semata-mata karena hasil
musyawarah bulan itu.Dilihat dari data sosiologis umat, pendukung utama partai
baru ini ialah Muhammadiyah dan NU. Jadi jelas secara ideologis, Masyumi adalah
kelanjutan dari MIAI, tapi kali ini mengkhususkan perjuangan dibidang politik
dalam rangka menegakan ajaran Islam dalam wadah Indonesia merdeka.Dalam kongres
November itu, tercatat sebagai ketua panitia ialah Mohammad Natsir dengan
anggota-anggota: Soekiman Wirjosendjojo, Abikusno Tjokrosujoso, A. Wahid
Hasyim, Wali al-Fatah, Sri Sultan Hamengkubuwono IX, Sri Paku Alam VIII, dan A.
Gaffar Ismail. Dalam kongres diputuskan bahwa: (1) Masyumi adalah satu-satunya
partai politik Islam di Indonesia; (2) Masyumi-lah yang akan memperjuangkan
nasib (politik) umat Islam Indonesia. Dengan ikrar ini, berarti eksistensi
partai Islam yang lain tidak diakui lagi.Menurut A.R Baswedan (1909-1986)
dengan bentuk federatif, Masyumi berhasil menarik hampir semua organisasi dalam
Islam Indonesia, sedangkan mereka tetap mempunyai otonomi dalam sosio-keagamaan
mereka.
Dalam hal ini, Masyumi telah merumuskan tujuan
jangka panjang yang hendak diraihnya dalam perjuangan politik. Dalam Anggaran
Dasar, tujuan itu dirumuskan secara gamblang sebagai berikut: “Tujuan partai
ialah terlaksananya ajaran dan hukum Islam didalam kehidupan orang seorang,
masyarakat, dan negara Republik Indonesia, menuju keridhaan Ilahi. Dengan
rumusan tujuan ini, Masyumi melalui cara-cara dan saluran-saluran demokrasi
ingin menciptakan Indonesia yang bercorak Islam, tapi dengan memberikan
kebebasan penuh kepada golongan-golongan lain untuk berbuat dan memperjuangkan
aspirasi politik sesuai dengan agama dan ideologinya masing-masing.[1]Dari
paparan diatas, maka makalah ini akan membahas tentang :
1.
Biografi
singkat Mohammad Natsir
2.
Aktivitas-aktivitas
Mohammad Natsir
3.
Konstruk
pemikiran Mohammad Natsir
2.
Biografi Mohammad Natsir
Mohammad Natsir dilahirkan pada tanggal 17 Juli 1908
di tanah Minang, tepatnya di Alahan Panjang, Lembah Gumanti, Kabupaten Solok,
Sumatra Barat. Daerah Minang dikenal sebagai tanah pergulatan pemikiran antara
adat dan agama, antara kelompok tradisional (kaum tuo) dan kelompok modernis (kaum mudo), khususnya di abad ke-19 sampai ke-20.Mohammad Natsir
dilahirkan dari pasangan Mohammad Idris Sutan Saripado dengan Khadijah. Jabatan
terakhir ayahnya adalah seorang pegawai pemerintah di Alahan Panjang. Sedangkan
kakeknya, yang berasal dari Maninjau, Tanjung Raya, Agam, merupakan tokoh ulama
di daerahnya. Mohammad Natsirjuga memiliki 3 saudara kandung, yaitu Yukinan,
Rubuah, dan Yohanusun.
Natsir memulai pendidikan pertamanya di Sekolah
Rakyat yang terdapat di Maninjau. Dua tahun kemudian, Natsir melanjutkan
pendidikannya di Hollandsch-Inlandsche
School (HIS) yang terdapat di daerah Padang. Beberapa bulan setelah itu,
Natsir pindah dari sekolah tersebut dan memutuskan untuk melanjutkan
pendidikannya di sekolah HIS yang berada di Solok.Selain belajar di HIS siang
harinya, di daerah tersebut Natsir juga mulai belajar ilmu agama Islam di
madrasah diniyah pada malam harinya. Tiga tahun kemudian, ia beserta kakaknya
memilih pindah dan kembali ke sekolahnya yang lama, yaitu HIS Padang.Pada tahun
1932, Natsir melanjutkan pendidikannya di MULO (Meer Uitgebreid Lager Onderwijs).
Pada masa inilah, ia mulai bergabung dengan
perhimpunan-perhimpunan pemuda, seperti halnya Pandu Nationale Islamietische Pavinderij dan Jong Islamieten Bond (JIB).Setelah itu, Natsir juga melanjutkan pendidikannya
di Algemeene Middlebare School (AMS)
hingga tahun 1930. Ketika berada di Bandung, ia juga bergabung dengan JIB yang
berada di Bandung. Bahkan ia pernah menjabat sebagai ketua JIB Bandung selama
kurang lima tahun, tepatnya dari tahun 1928-1932.Ketika berada di Bandung, Mohammad
Natsir juga mulai bersentuhan dengan ide-ide gerakan modern, seperti halnya
pemikiran-pemikiran Muhammad Abduh. Perkenalannya terhadap Abduh tersebut
didapatnya dari seorang guru yang bernama Ahmad Hassan (1887-1957), seorang
tokoh Persis (Persatuan Islam).Aktivitas politik praktis Natsir dimulai tidak
lama setelah masa kemerdekaan Indonesia. Jabatannya selama lima tahun memimpin
JIB, tentunya memberikan pengalaman berharga bagi perjalanan karier politiknya.
Pada tahun 1946, ketika ia sudah aktif di partai Masyumi, ia diangkat menjadi
Mentri Penerangan oleh kabinet Syahrir dan Natsir menjalani jabatan tersebut
selama 3 tahun.[2]
3.
Aktivitas-Aktivitas Mohammad Natsir
Nama Mohammad Natsir begitu penting dalam wacana
pemikiran Islam di Indonesia. Ia seorang negarawan dan pelaku sejarah negara
Indonesia modern. Selain pemikir, ia juga pelaku politik. Tokoh yang low profile ini pernah memimpin partai
politik Islam Masyumi.Pada tahun 1938, ia mulai aktif di bidang politik dengan
mendaftarkan dirinya menjadi anggota Partai Islam Indonesia (PII) cabang
Bandung. Beliau menjabat ketua PII Bandung pada 1940 hingga 1942 dan bekerja di
pemerintahan sebagai kepala Biro Pendidikan Kodya Bandung sampai tahun 1945 dan
menangkap sekertaris Sekolah Tinggi Islam (STI) di Jakarta. Puncak karir
politik Natsir adalah Ketua Partai Islam Masyumi dan Perdana Mentri RI di masa
Soekarno.[3]Wacana
politik Islam Partai Masyumi dikategorikan beraliran modernis, yang dipimpin
oleh Mohammad Natsir tampaknya lebih banyak persamaan dengan Liga Muslim
Pakistan pimpinan Muhammad Ali Jinnah. Dalam persoalan muamalah modernisme
cenderung menafsirkan doktrin secara elastis dan fleksibel. Kecenderungan ini
terlihat dalam lima persoalan pokok, yaitu corak pengaturan doktrin dalam
hubungannya dengan ijtihad; kekuatan mengikat dari preseden zaman awal Islam;
konsep ijma’ sebagai sumber hukum; pandangan tentang pluralisme masyarakat; dan
akhirnya tentang kedudukan hikmah.[4]
Sikap yang berpijak pada logika kalangan Islam modernis (Masyumi) melihat Islam
langsung dari teks Al-Qur’an dan Sunnah, bukan dari sejarah pemikiran dan
peradaban Islam yang telah dibangun melalui nalar fiqih.[5]
Tampilnya M. Natsir ke puncak pemerintahan tidak
terlepas dari langkah strategisnya dalam mengemukakan mosi dalam sidang
parlement Republik Indonesia Serikat (RIS) pada 3 April 1950, yang lebih
dikenal dengan “Mosi Integral Natsir”.Pada tahun 1966, format perjuangan Natsir
berubah dari politik ke dakwah. Ia mendirikan Dewan Dakwah Islam Indonesia
(DDII).Sampai awal tahun 1980, Natsir berulang kali melawat keluar negeri,
terutama ke negara-negara Islam, menghadiri konfrensi atau seminar dakwah
Internasional. Sebagai wakil presiden Muktamar Alam Islami pada konfrensi di
Cyprus, Natsir menyampaikan makalah berjudul “Dunia Islam Berhadapan dengan
Dunia Modern.”Sikap kritis dan korektifnya ia sampaikan kepada pemerintah orde
baru di bawah pimpinan Soeharto. Kritiknya yang tajam antara lain adalah ikut
sertanya Natsir menandatangani Petisi 50 bersama Ali Sadikin dan kawan-kawan
pada pada 5 Mei 1980. Konsekuensinya, ia dicekal di luar negeri tanpa proses
pengadilan. Natsir wafat pada 6 Februari 1993 dalam usia 85 tahun dan
dimakamkan di Jakarta.[6]
Berita wafatnya ini menjadi berita utama dalam berbagai media cetak dan
elektronik. Berbagai ungkapan belasungkawa
muncul baik dari kawan seperjuangan maupun lawan politiknya. Mantan
Perdana Mentri Jepang yang diwakili Nakajima mengungkapkan berita wafatnya
Natsir ini dengan ungkapan : Berita wafatnya Pak Mohammad Natsir terasa lebih
dahsyat dari jatuhnya bom atom di Hirosima.[7]
4.
Konstruk Pemikiran Mohammad Natsir
a.
Konsep Negara Islam
Natsir beranggapan bahwa Islam tidak hanya mengurus
masalah-masalah tentang hubungan setiap individu dengan Tuhannya. Akan tetapi,
Islam merupakan agama yang lengkap yang mengatur setiap aspek kehidupan
manusia, termasuk didalamnya adalah politik kenegaraan. Menurutnya, Islam tidak
mengenal istilah pemisahan antara agama dan politik.Melalui ide dasar itulah,
Natsir selalu memperjuangkan Islam untuk dijadikan sebagai dasar negara
Indonesia. Meskipun Islam tidak menawarkan sebuah bentuk pemerintah yang
konkret, tetapi Islam kaya akan nilai-nilai yang dapat dijadikan patokan dalam
sebuah pemerintah. Menurut Natsir, hal demikian dapat menjadikan wasilah bagi tercapainya tujuan hidup
manusia.Selain itu, Natsir juga begitu egaliter dalam menentukan seorang
pemimpin sebuah negara. Baginya, nama pimpinan negara dapat berbeda-beda dan
tidak harus bergelar khalifah. Menurut
Natsir, seorang pemimpin haruslah mampu menjadi ulil amr bagi kaum muslimin serta sanggup menjalankan
peraturan-peraturan Islam dalam susunan kenegaraan. Di samping itu, Natsir juga
menyarankan bahwa seorang pemimpin harus berwibawa, amanah, cinta agama, dan
cinta tanah air.Menurut Muhammad Iqbal (2010), warna pemikiran-pemikiran Natsir
terlihat lebih modern dan realistis ketimbang para pemikir-pemikir lainnya,
seperti halnya Rasyid Ridla (1865-1935) dan Sayyid Quthb (1906-1966). Menurut
Natsir, perkembangan sistem pemerintahan Islam dari masa Nabi dan al-Khulafa’ ar-Rayidin serta
perkembangan pemikiran umat Islam, menunjukan bahwa Islam memberi kelonggaran
kepada masyarakatnya untuk berevolusi dalam batas-batas asas dan ajaran Islam.
Dengan demikian, Natsir mengatakan bahwa perbedaan
geografis dan etnis merupakan kenyataan alami yang tidak dapat dibantah. Akan
tetapi, dalam perbedaan tersebut tetap saja terjalin keterikatan antara satu
sama lain, yakni melalui nilai-nilai akidah islamiah. Terlepas dari hal itu,
pada dasarnya Natsir tidak menolak adanya kemungkinan diterapkannya sistem
pemerintahan Barat, tetapi dengan catatan bahwa sistem tersebut tidak
bertentangan dengan nilai-nilai dasar yang terkandung dalam Islam.
b.
Nasionalisme
Berbagai pemikiran Natsir tersebut, dengan jelas
memperlihatkan bahwa ia adalah seorang pejuang Islam yang juga menganut
nasionalisme. Meskipun demikian, nasionalisme Natsir tidaklah sama dengan
nasionalisme yang diadopsi dari Barat.Nasionalisme ala Barat menjadikan negara
sebagai satu-satunya tujuan hidup seseorang dan cenderung menganggap diri
mereka sebagai ras yang unggul ketimbang bangas-bangsa lainnya. Karena itulah,
Natsir begitu menolak terhadap nasionalisme ala Barat yang ditunggangi oleh
spirit resisme dan imperialisme. Bagi Natsir, nasionalisme hanyalah salah satu
alat untuk mencapai tujuan-tujuan bersama dalam suatu masyarakat. Dengan
demikian, ikatan-ikatan primodial yang melandasi nasionalisme tidak harus
mengaburkan pandangan manusia terhadap orang lain.
c.
Demokrasi
Pandangan Natsir tentang demokrasi tidak terlepas
dari pemikiran utamanya tentang kedudukan Islam dan negara. Begitu pula dengan
masalah demokrasi, Natsir beranggapan bahwa sistem musyawarah dalam Islam juga
lebih dekat dengan sistem demokrasi modern. Menurutnya, demokrasi dapat
diterapkan selama setiap keputusan yang diambil dalam musyawarah tetap mengacu
pada niali-nilai Islam.Dengan demikian, demokrasi dalam pandangan Natsir adalah
sebuah sistem yang dilandasi oleh dua kedaulatan sekaligus, yaitu kedaulatan
rakyat dan kedaulatan Tuhan. Menurutnya, Islam menganut sistem demokrasi yang
berlandaskan nilai-nilai ketuhanan atau theistik
democracy.
d.
Pandangan Natsir Tentang Pancasila
Terkait dengan Pancasila, Natsir merupakan salah
satu tokoh Islam yang paling gigih menolak Pancasila sebagai dasar negara.
Menurut Natsir, Pancasila merupakan dasar negara yang sekuler dan tidak mengakui
agama sebagai sumbernya. Sehingga, konsep ketuhanan yang demikian sifatnya
sangat relatif dan berganti-ganti. Menurutnya, sebuah dasar negara akan menjadi
kuat apabila ia berasal dari sesuatu yang sudah mengakar dalam masyarakat
Indonesia. Dalam hal ini, Natsir beranggapan bahwa Islam merupakan agama
mayoritas yang telah berabad-abad mengakar di kalangan masyarakat Indonesia. Karena
itu, cukup pantas kiranya jika Islam dijadikan dasar negara.Natsir juga
menegaskan bahwa kaum minoritas Indoneisa (selain umat muslim) tidak perlu
khawatir terhadap dominasi Islam. Sebab, Islam adalah agama yang sempurna.
Didalamnya menganut ajaran dan nilai-nilai yang dapat menjamin keberlangsungan
berbagai golongan. Dengan kata lain, Islam memiliki nilai-nilai toleransi yang
begitu besar terhadap kaum minoritas.[8]
Dalam sidang Konstituante tahun 1957, Mohammad
Natsir dengan tegas juga menolak Pancasila. Menurutnya, Pancasila sangat kabur
tidak mempunyai makna apa-apa bagi umat Islam yang telah memiliki ideologi yang
jelas dan sempurna. Ia pun mengingatkan umat Islam bahwa pindah dari Islam ke
pancasila adalah bagaikan melompat dari bumi tempat berpijak ke suatu ruang
yang hampa.Jauh sebelum kemerdekaan, pada tahun 1931, Mohammad Natsir, salah
satu tokoh Islam modernis, telah memberikan ketegasan secara konseptual bahwa
Islam merupakan konsep aturan yang utuh, dari urusan rumah tangga hingga aturan
negara. Bahkan secara radikal ia menyatakan, “Gerakan kebangsaan akan mencapai
tujuannya dengan diperolehnya kemerdekaan. Sedangkan bagi umat Islam, perjuangan
mereka tidak akan berhenti disitu. Mereka tetap akan meneruskan perjuangan
selama negeri mereka belum diatur menurut susunan hukum kenegaraan Islam.”[9]
e.
Pandangan Natsir Tentang Pendidikan
Mohammad Natsir memang seorang pendidik sehingga
tahu apa dan bagaimana pendidikan itu. Beliau menyadari betapa pentingnya
pendidikan bagi suatu bangsa yang ingin maju. Menyadari betapa pentingnya
pendidikan, pada tahun 1949, Mohammad Natsir memimpin sebuah program pendidikan
yang didirikan oleh tokoh-tokoh Islam di daerah yang dikuasai Darul Islam.
Bahkan jauh sebelum itu, tepatnya tanggal 17 Juli 1934, ia menyampaikan
pidatonya dalam Rapat Persatuan Islam di Bogor, dikatakannya bahwa maju atau
mundurnya salah satu kaum bergantung sebagian besar kepada pelajaran dan
pendidikan yang berlaku dalam kalangan mereka. Menurutnya, pendidikan (didikan)
ialah suatu pembinaan jasmani dan rohani yang menuju kepada kesempurnaan dan
lengkapnya sifat-sifat kemanusiaan dalam arti yang sesungguhnya. Selanjutnya
dengan kalimat yang ringkas, M. Natsir menyatakan bahwa tujuan pendidikan ialah
tujuan hidup. Lebih lanjut, M. Natsir
menekankan bahwa pendidikan juga harus bisa melahirkan lulusan yang melepaskan
ketergantungan, selanjutnya dapat menumbuhkan sikap inisiatif untuk mandiri.
Menurut
Thohir Luth, 1999. Dari sekian banyak pandangan M. Natsir mengenai pendidikan, yang
paling penting yaitu solusinya mengenai tauhid sebagai prinsip utama
pendidikan.
“Mengenal
Tuhan, mentauhidkan Tuhan, mempercayai dan menyerahkan diri kepada Tuhan harus
menjadi dasar bagi tiap-tiap pendidik yang hendak diberikan kepada generasi
yang kita didik, jika kita sebagai guru ataupun ibu-bapak, betul-betul cinta
kepada anak-anak yang telah dipercayakan Allah kepada kita itu.” Lebih lanjut,
M. Natsir mengatakan, “Pendidikan dengan tauhid sebagai prinsip-prinsip utama,
akan memberikan nilai tambah bagi manusia dan menumbuhkan kepercayaan kepada
dirinya serta mempunyai pegangan hidup yang benar. Bagi orang yang tidak
menjadikan tauhid sebagai dasar pendidikan dalam arti dia tidak memiliki
pegangan hidup yang besar, semakin lama ia memperdalam ilmu, semakin hilang
rasa tempat berpijak, apa yang kemarin masih benar, sekarang sudah tak betul
lagi. Apa yang betul sekarang, besok sudah salah pula.”[10]
Pernyataan-pernyataan
tersebut menarik untuk disimak dan dikaji berulang-ulang agar daya serap
pernyataan itu memberi bekas pada perilaku, terutama sebagai pendidik, sebab
kita seringkali dikecohkan oleh slogan pembaharuan pendidikan, padahal
sebenarnya itu adalah satu penyimpangan terhadap ajaran dasar Islam.
5.
Kesimpulan
Natsir adalah sosok negarawan, pemikir modernis, dan
sekaligus mujahid dakwah yang telah menorehkan episode sejarahnya di Indonesia
sejak awal kemerdekaan hingga masa orde baru. Pandangannya mengenai Islam dan
Negara, Islam dan Pancasila, dan Islam dan Demokrasi dapat di kategorikan
sebagai pandangan yang moderat yang harus berdasarkan pada nilai-nilai akidah
Islamiah. Dalam artian dia tidak mengharuskan segala sesuatu kepada tradisi
sejarah Islam yang pernah ada. Dalam hal kepala negara, misalnya ia amat luwes,
tidak harus khalifah, presiden atau amirul mukminin. Baginya yang penting yaitu
berjalannya agama Islam di tengah masyarakat. Agama yang menjadikan tauhid
sebagai pegangan dalam pendidikan atau menari ilmu pengetahuan.
[1] Ahmad Syafii Maarif, Islam dan Politik: Teori Belah Bambu Masa
Demokrasi Terpimpin (1959-1965), (Jakarta: Gema Insani Press, 1996), hlm.
31-33.
[2] A. Faidi, Pemikiran Emas Tokoh-tokoh Politik Dunia, (Jogjakarta: IRCiSoD,
2013), hlm. 166-168.
[3] Didin Saefuddin, Pemikiran Modern dan Postmodern Islam, (Jakarta:
PT Grasindo, 2003), hlm. 209-210.
[4]Jejak-Jejak
politik Islam: Sinopsi Sejumlah Studi Islam di Indonesia. Jakarta: Direktorat perguruan
tinggi agama Islam, 2004, hlm. 207-208
[5] Bahtiar Effendy, Teologi Baru Politik Islam: Pertautan Agama,
Negara, dan Demokrasi, (Yogyakarta: Galang Press, 2001), hlm. x.
[6] Didin Saefuddin, Pemikiran Modern dan Postmodern Islam,
(Jakarta: PT Grasindo, 2003), hlm. 210-211.
[7] Abuddin Nata, Tokoh-tokoh Pembaruan Pendidikan Islam di
Indonesia, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2005), hlm. 80-81
[8] A. Faidi, Pemikiran Emas Tokoh-tokoh Politik Dunia, (Jogjakarta: IRCiSoD,
2013), hlm. 169-173.
[9] Bahtiar Effendy, Teologi Baru Politik Islam: Pertautan Agama,
Negara, dan Demokrasi, (Yogyakarta: Galang Press, 2001), hlm. ix.
[10]Thohir Luth, M. Natsir Dakwah dan
Pemikirannya, (Jakarta: Gema Insani Press, 1999), hlm. 94-98.
Langganan:
Postingan (Atom)